Wednesday, November 14, 2007
Kita Memang Beda, Cinta
"Ayah bunda lucu deh," kata anak kami Faiz, pada suatu hari yang
gerimis.
Saya mengerutkan kening sambil tersenyum. "Lucu? Lucu apanya
sayang?"
"Orangnya bertolak belakang! He he he...."Saya tersentak sesaat. Faiz, anak kami yang belum berusia 10tahun dan suka menulis puisi, "membaca" kami sedalam itu.
Saya manggut-manggut. "Hmmm, lalu apanya yang salah?
Dia mengerling menggoda. "Tidak ada. Ayah Bunda pasangan yang
unik!"
Saya dekatkan wajah saya pada Faiz dan menyentuh lembut hidungnya.
"Aku mencatat beberapa contoh. Bunda anti durian, ayah suka durian.
Bunda periang, ayah pendiam. Bunda humoris, ayah sangat serius.
Hmmm, apalagi ya? Ayah menganalisa, bunda sensitif. Ayah itu
detail,bunda tidak. Ayah dan bunda memandang persoalan dengan cara
berbeda.
Menyelesaikan persoalan dengan berbeda pula!"
Saya bengong.
"Bunda romantis tapi ayah tidak. Kalau aku romantis!" katanya setengah berbisik, lalu tertawa.
Saya tambah bengong! Tahu apa anak itu tentang romantisme? Faiz terus nyerocos. Ia pun bercerita, tentang percakapan disekolah dengan teman-temannya. Anak-anak SD Kelas IV ituternyata sudah berpikir, kelak kalau menikah harus mencari pasangan yang sifatnya sama! "Kalau tidak nanti bisa cerai!"
What? Saya garuk-garuk kepala. "Aku saja yang tidak begitu setuju, Bunda. Aku bilang pada
teman-teman, justru karena ayah bunda berbeda, jadinya malah asyik lho!"
Saya geleng-geleng kepala lagi, sambil mengulum senyum. Ah,tahukah para orangtua mereka bahwa anak-anak mereka kadang tahu lebih banyak dari yang kita pikir?
Tak lama Faiz sudah asyik dengan bacaannya di kamar. Di ruang kerja saya, tiba-tiba wajah beberapa teman lama melintas.
A memilih bercerai karena setelah menikah 10 tahun dan punya 2 anak kemudian merasa ia dan suami sama sekali tak cocok!
B menjalani kehidupan rumah tangganya dengan perasaan hampa karena tak kunjung merasa cocok dengan suaminya, setelah menikah belasan tahun.
C selalu berkomunikasi dengan suaminya tentang berbagai hal,
tapi terpaksa cekcok hampir setiap hari karena tak kunjung
sampai pada sesuatu bernama kesamaan.
D tak lagi peduli pada indahnya jalan pernikahan dan sekadar menjaga keutuhan rumah tangga sampai akhir hayat.
Di antara mereka ada yang seperti saya, menikah karena dijodohkan sahabat atau ustadz. Ada pula yang menikah setelah melalui pacaran lebih dahulu bertahun-tahun. Dan atas nama "ketidakcocokan" itulah yang terjadi.
Saya akui, pengamatan Faiz jeli. Saya dan Mas Tomi memang sangat berbeda. Sebelas tahun kami bersama dan berupaya mencari titik temu. Tak selalu berhasil. "We are the odd couple!" kelakar kami.
Tapi alhamdulillah, di tengah-tengah segala perbedaan itu, kami berusaha untuk tak berhenti berkomunikasi. Saya mencoba memilih waktu yang tepat, yang menyenangkan untuk bicara berdua. Begitu juga Mas.Kami membicarakan perbedaan kami di saat dan di tempat
yang nyaman dan menyenangkan.
Kadang tak semua perlu dibicarakan. Mas menunjukkan dengan sikap apa yang ia inginkan dari saya. Kadang saat saya lelah, tanpa harus terucap kata "saya capek," Mas memijat pundak dan punggung perlakukan demikian pula. Saya selalu memberi kejutan di saat milad, ulang tahun pernikahan, di saat ia meraih kesuksesan atau kapan saja saya mau. Mas menyadari, itu artinya saya pun ingin diperhatikan demikian. Ia mencoba, meski sebelumnya tak ada tradisi itu di keluarga Mas. Saya membuatkannya puisi saat Mas kerap memberi saya data statistik keuangan kami. Mas tahu, saya ingin sesekali diberi puisi sederhana tentang cinta. Saya pun menyadari, Mas ingin saya bisa mencatat semua pemasukan dan pengeluaran rumah tangga dengan rapi. Mas suka makanan tertentu. Dan meski tak suka, saya coba memasaknya. Saya membelikan Mas pakaian yang sedikit modis. Mas nyengir, tapi ia coba memakainya.
Berupaya untuk memahami dan mengecilkan perbedaan menjadi indah, ketika itu dilakukan dengan senyum dan ketulusan, bukan karena tuntutan atau paksaan terhadap pasangan. Dan kalau dengan berubah kita lantas menjadi lebih baik, kalau berubah itu dalam rangka ibadah, dalam rangka membuat pasangan kita bahagia, mengapa tidak? Kalaupun pasangan kita tidak juga berubah dari karakter semula setelah bertahun-tahun, mengapa kita tak melihat hal itu sebagai keunikan yang makin membuat kita "kaya"?
Di atas itu semua, sebenarnya semua perbedaan bisa saja seolah keinginan menjadi abdi illahi sejati! Cinta karena dan untukNya, menjadikan sifat dan karakter yang paling berbeda sekalipun bersimpuh atas namaNya. Perbedaan justru menjadi masalah serius ketika masing-masing pribadi memang tidak menempatkan ridho Allah sebagai tujuan utama dalam biduk rumah tangga mereka.
Di luar, hujan mulai reda. Sayup-sayup saya dengar suara Faiz di telpon. Rupanya ia sedang bercakap dengan salah satu temannya.
"Apa? Ayah bundamu bertengkar? Sudah, jangan menangis. Cinta
yang besar kepada Allah, akan selalu menyatukan mereka!" Saya nyengir. Sejak kapan anak itu menjadi konsultan ya?
_____
Sunday, September 09, 2007
Fasting Story
"But you are fasting, Thabit. 7-year-old children eat in the morning and a little in the afternoon and then they don't eat anything else till evening."
"But you do not fast like that, Mum," the little boy insisted.
"I am older, Thabit. Grownups fast that way."
The young gentleman sat deep in thought and then asked, "Mum, why do we fast?"
"That's a good question, Thabit." She got up and went to the kitchen cupboard. She removed something from it.
"Do you know what this is, Thabit?"
"It's a blender."
"Do you know what it is supposed to do?"
"It blends passion fruit for juice." His mother laughed. "Yes, it does blend. Our body does the same thing. It grinds the food we eat; it takes what it needs and removes the rest. It does this everyday, day in day out."
"Doesn't the body get tired, Mum?"
"It does. Just like the blender. When we have blended juice for too long, it refuses to work. Then it needs fixing. So we have to give our body a rest so it can work better for us. That's why we fast in Ramadan and some other days in the year."
"Does everybody fast, Mummy?"
"Not everybody. If you are ill or expecting a baby or if you are old and weak like Daddy's grandpa or if you are 7 years old then you don't fast.
The little boy thought some more. He ate the food his mother had set before him without much fuss. "What if you don't want to fast?"
"What is your sister Nur's favorite color?" "Pink".
"And what is the color of her uniform for Madrassa (School)?" "Blue".
But she says she'd like to wear her pink hijab when she goes."
"And why doesn't she?"
"She is afraid Ustaadh (Teacher) will punish her."
"You see, she was afraid Ustaadh would punish her. Ustaadh will punish her because she has broken the rule of the madrassa by wearing pink.
You see, Thabit, Allah knows what is good for us and so we have to do as He commands, because He sees and knows everything. We love Him and fear Him and we don't want Him to be displeased with us."
"But don't you get hungry, Mum?"
"Of course we do. But we keep ourselves busy on other important things to take our mind away from the food. We read the Qur'an, or we visit the sick people or we go to the mosque and listen to dars. You see there's plenty to do and before you know it, it's time to eat!"
"Is there another reason why Muslims fast?"
"Yes. You are lucky, Thabit, because you have food everyday. Not everyone has food to eat."
"Like the poor people at Baroda Road?"
"Yes, like them. If we go hungry like them, we will be able to understand that they need help."
The little boy seemed satisfied with the answers, his mother had given him. "Mum, can I go with you and Daddy to help the poor?" "By the Grace of Allah, you can."
maap update-an jg ditujukan utk temen2 mama dr negara laen biar bs baca arti ramadhan.
selamat datang ramadhan....
source: children n fasting
Tuesday, August 14, 2007
Urushima Taro
Tetapi, tidak ada yang menjawab. Bukan hanya rumahnya yang ia rindukan, tapi juga sosok ibunya tak tampak. Keadaan di sekitarnya semuanya telah berubah. Orang2 yang dikenalnya, rumah-rumah yang diketahuinya, semuanya yang ia ingat tak ada. Ke mana perginya semangatnya yang tadi? Taro benar-benar kehilan “Oh, ya! Kan ada kotak perhiasan! Kalau ini dibuka, mungkin aku jadi tahu sesuatu.” otak perhiasan itu pelan-pelan. Dan...ajaib! da sekejap mata. sangat menyenangkan di Istana Ryugu, puluhan tahun telah berlalu di atas bumi. Taro hanya bisa berdiri termenung-menung.
Taro yang tadinya pemuda berubah menjadi kakek yang berjanggut putih dalam sekejap mata. Ternyata Taro yg melewi di istana Ryugu puluhan tahun telah berlalu di atas bumi. Taro hanya bisa berdiri termenung-menung.
sumber: kumpulan tugas akhir Shito Naoko, Tokyo Univ of Foreign Students
Thursday, May 24, 2007
Pengatin Kappa
Pada jaman dahulu hiduplah seorang ayah bersama tiga anak perempuannya. Pada suatu tahun, sawah-sawah mengering seluruhnya karena kemarau terus berkepanjangan. “Wah, kalau keadaan ini terus berlanjut, padi-padi akan mati. Siapa yang bisa mengalirkan air ke sawah ini, akan kuserahi salah satu anak perempuanku.” Sang Ayah berkata-kata sendiri sambil berdiri di pematang sawah. Lantas, terdengar bunyi kecipak air dari arah sungai dan muncullah Kappa. “Aku akan mengairi sawah-sawah ini. Tapi, apakah kamu benar-benar akan memberikan anak perempuanmu?” “Ya, kalau bisa mengairi, tolong lakukanlah. Aku akan menyerahkan seorang putriku.” “Baik, jangan lupa janjimu.” Kappa tertawa terkekeh-kekeh. Lalu ia kembali ke dalam sungai. Keesokan paginya, si Ayah pergi ke sawah. Ia terkejut, sawah-sawah telah penuh dengan air. Ayah segera pulang ke rumah. Tetapi saat mengingat janjinya dengan Kappa, ia merasa tidak sampai hati bertemu dengan anak-anak gadisnya. Lalu, ia menyelimuti tubuhnya dengan selimut dan tidur.
Ia tidak bangun meskipun waktu makan telah tiba. Anak gadis nya yg tertua membangunkannya:
“Ayah, ayo bangun lalu makan.”
“Aku tidak mau makan.”
“Kenapa tidak makan apakah ayah sedang tidak enak badan?"
Karena anak gadis tertuanya itu bertanya terus menerus,
Ayah lantas berkata, “Aku berjanji akan menyerahkan salah satu
anak perempuanku pada Kappa yang telah mengairi sawah. Ayo
kamu jadi pengantin Kappa!
Mendengar hal ini, si anak gadis tertua berkata, “Tidak!
Memangnya siapa yang mau menikah dengan Kappa?"Ia menyepak bantal dan pergi tergopoh-gopoh.
“Wah, susah kalau begini….” Ayah menyelimuti tubuhnya dan tidur lagi.
Lalu putrinya yang kedua datang untuk membangunkannya.
"Ayah ayo bangun lalu makan.”
"Aku tidak mau makan."
"Kenapa tidak makan? Apakah Ayah sedang tidak enak badan?"
Karena putri keduanya bertanya terus menerus maka ia
berkata, “Aku berjanji akan menyerahkan salah satu
anak perempuanku pada Kappa yang telah mengairi sawah. Ayo
kamu jadi pengantin Kappa!
Mendengar hal ini, si putri kedua beerteriak"Tidak!" dan iapun pergi dengan tergopoh2.
“Wah, susah kalau begini….” Ayah menyelimuti tubuhnya kembali
dan tidak mau bangun lagi. Tak lama kemudian putri bungsunya pun membangunkannya:
“Ayah, ayo bangun lalu makan.”
"Aku tidak mau makan."
"Kenapa tidak makan? Apakah Ayah sedang tidak enak badan?"
Karena putri ketiganya bertanya terus menerus maka ia
berkata, “Aku berjanji akan menyerahkan salah satu
anak perempuanku pada Kappa yang telah mengairi sawah. Ayo
kamu jadi pengantin Kappa!
Mendengar hal ini, si anak perempuan ketiga berkata,"Janji harus ditepati. Aku mau menikah dengan Kappa jadi ayo makan, Yah!”
Akhirnya ayah bangun dan makan.
Lantas ayah bertanya kepada putrinya yang ketiga ini.
“Aku mau mempersiapkan pernikahan, barang apa yang bagus?”
“Saya ingin membawa seratus wadah dari buah labu, Ayah.”
“Baik, seratus wadah dari buah labu ya ”
Ayah berjalan mengelilingi desa dan mengumpulkan seratus wadah dari buah labu dan membungkusnya dgn kain.
Datanglah Kappa yang berupa pemuda untuk membawa gadisnya.
Dua kakak perempuannya keluar dan berujar " aih,meskipun ia adalah Kappa, ternyata wajahnya tampan."
Si putri bungsu yang menjadi pengantin ditarik tangannya oleh pemuda yg memikul bungkusan di bahunya.
Setibanya di rawa besar yang ada di balik gunung, si da berkata dengan gembira dan penuh semangat. “Nah, kita telah tiba di rumah. Ayo masuk kedalam rawa bersamaku” Lantas, si gadis melemparkan bungkusan itu ke dalam rawa dan berteriak. “Bawakan dulu barang-barang pernikahannya.” Kappa memberi isyarat ‘itu sih, mudah saja!’ lalu melompat ke dalam rawa dan tapi, kalau wadah yang di sana ditenggelamkan, yang di sini langsung naik lagi ke permukaan. Kalau di sini ditengdi sebelah sana langsung mengapung ke permukaan. Pemuda itu berjuang hebat. Eh, tahu2 ia telah kembali ke Kappa, sosok aslinya, sambil terus berusaha menenggelamkan wadah dari buah labu itu. Tetapi wadah itu terus naik ke permukaan. Kappa belum juga berhasil menenggelamkannya.
Tetapi wadah itu terus naik ke permukaan. Kappa belum juga berhasil menenggelamkannya. Kappa merasa sangat kelelahan, lalu menghela nafas dan berkata. “Wah, ternyata memang tidak bisa beristrikan manusia. Bagi Kappa, isteri dari bangsa Kappalah yg paling baik."
Byur! Byur! Kappa menyelam ke dalam rawa. Ayah merasa sangat gembira karena putri bungsunya pulang dengan selamat. Putri bungsunya itu mewarisi rumah dan sang ayah hidup dengan tenang sampe akhir hayatnya.
Cerita diambil dari kumpulan tugas akhir Shito Naoko, Tokyo Univ of Foreign Students
Sunday, May 13, 2007
Nasi Goreng
Rima dan Ramli tinggal bertiga dengan ibu mereka. Rima kini baru masuk SLTP. Dan Ramli naik ke kelas IV SD. Ibu mereka bekerja sebagai pencuci pakaian di beberapa rumah besar. Walaupun demikian, Rima dan Ramli tetap bercita-cita tinggi. Mereka selalu rajin belajar dan tidak putus asa.
Tahun ini, Rima sangat bangga, karena ia diterima di salah satu SLTP Negeri favorit. Rima harus menjalani MOS (Masa Orientasi Siswa) selama tiga hari pertama. Pada masa itu, ia bisa berkenalan dengan siswa lainnya. Juga dengan kakak kelas dan dengan program sekolahnya.
Pada hari kedua MOS, Kak Mimi, salah satu kakak OSIS memberi pengumuman,
"Adik-adik kelas satu, besok ada acara tukaran makanan. Jadi kalian semua harus bawa makanan sendiri-sendiri. Nantinya akan saling ditukarkan!"
"Kak, makanannya misalnya apa, Kak?" tanya salah seorang anak.
"Oh, ya! Harus nasi lengkap dengan lauk dan sayuran. Harganya minimal Rp 2000,00."
Setelah Kak Mimi pergi, Rima jadi bingung sendiri. Dia akan membawa nasi dan lauk apa? Di rumahnya tak ada lauk yang enak dan istimewa. Paling hanya tempe dan tahu. Di rumah, bisanya Rima menambahkan kecap di nasi putihnya. Itu sudah terasa nikmat sekali baginya. Tapi kalau Rima membawa menu seperti itu ke sekolah, ia takut diejek kawan-kawannya.
Setiba di rumah, Rima menceritakan tugasnya itu kepada Ibu.
"Rim, sekarang Ibu mau kerja dulu. Kamu saja yang memikirkan menu apa akan kamu bawa. Kalau bisa, yang murah-murah saja. Agar Ibu sanggup membelinya," kata Ibu.
Namun, sampai ibunya pulang kerja, Rima belum juga menemukan jalan keluarnya. Untungnya, pada saat sedang belajar malam, ia menemukan ide. Rima bergegas menemui ibunya.
"Bu, bagaimana kalau besok Rima bawa nasi goreng saja? Murah dan mudah kan Bu?" ujar Rima.
"Benar juga. Kalau begitu, besok pagi-pagi akan Ibu buatkan nasi goreng," kata Ibu sambil menguap. Rima iba melihat ibunya. Ibu Rima sebenarnya belum terlalu tua. Namun karena ia bekerja sangat keras. wajahnya tampak lebih tua dari usia sebenarnya.
Paginya, Rima membantu ibunya memasak nasi goreng. Nasi goreng itu lalu dibungkus dengan daun pisang yang diambil dari kebunnya.
"Terima kasih, ya, Bu. Rima berangkat dulu, ya!" pamit Rima pada ibunya. Dengan gembira ia mengayuh sepeda tuanya menuju ke sekolah. Beberapa saat kemudian, Rima sudah berada di dalam kelas. Setelah beberapa saat berlalu, akhirnya tibalah acara yang dinanti-nanti Rima. Acara pertukaran makanan.
"Adik-adik kelas satu, sudah bawa makanan semua, kan?" tanya Kakak OSIS.
"Sudah, Kak!" jawab murid-murid kelas satu serentak.
Makanan yang dibawa murid-murid lalu dikumpul di meja guru. Rima mulai tegang.
Bagaimana jika makanannya jatuh pada temannya yang kaya? Apa dia mau memakan nasi gorengnya yang sederhana? Rima takut kalau-kalau teman-temannya mencemoh masakan itu.
Akhirnya saat pembagian makanan pun tiba. Rima mendapat makanan dari Rio. Sedangkan nasi goreng bungkusannya diterima Miranda. Rima tidak langsung membuka kotak bekal dari Rio. Ia melirik ke arah Miranda yang membuka bungkusan nasi gorengnya itu.
"Wow, nasi goreng! Aku suka sekali nasi goreng! Wah kelihatannya enak!" sorak Miranda. Rima melihat Miranda memakan sesendok nasi gorengnya.
"Wow, enak sekali! Punya siapa ini?" tanya Miranda.
"Itu punyaku," jawab Rima.
"Oh, kamu Rima, ya?"
"Iya," jawab Rima singkat.
"Rim, siapa yang memasak nasi goreng ini?" tanya Miranda.
"Ibuku, " sahut Rima sedikit lega.
"Kebetulan, lusa ulangtahunku. Aku sedang cari makanan katering. Apa ibumu mau menerima pesanan nasi goreng seperti ini?" tanya Miranda.
"Bisa! Tentu saja bisa! Nanti akan aku bicarakan dengan ibuku," sahut Rima senang. Rosa dan Maya mendekati Miranda dan Rima.
"Oh, ini ya, nasi gorengnya! Boleh kucoba?" kata Rosa sambil menyendok sedikit nasi goreng. "Wah, enak sekali! Ibuku kan bekerja di kantor. Kebetulan Ibu sedang bingung mencari ketering untuk makan siang di kantornya! Ibuku pasti senang kalau bisa memesan nasi goreng seperti ini," kata Rosa.
"Oh, tentu saja bisa!" jawab Rima.
Kabar ini cepat menyebar. Sampai pada saat istirahat kedua, saat Rima sedang jalan di kantin, ibu penjual di kantin bertanya.
"Kamu Rima, ya?" tanyanya.
"Iya. Ada apa, Bu?" tanya Rima heran.
"Begini, Ibu mau pesan nasi goreng buatan ibumu yang katanya enak itu. Mau Ibu jual di kantin ini. Kalau bisa, lusa ibu pesan lima puluh bungkus dulu. Kalau laris, nanti ibu akan pesan lebih banyak lagi!"
"Oh, ya? Baiklah, nanti saya tanyakan ke Ibu!" jawab Rima senang.
"Oh, ya untuk modalnya ini ada sedikit uang," ibu kantin menyodorkan sejumlah uang.
Sampai di rumah, Rima berlari-lari mendekati ibunya yang sedang memasak. Ia bercerita tentang pesana nasi goreng yang diterimanya tadi.
"Oh, Ibu senang sekali!" Ibu memeluk Rima. Mereka sangat bersyukur untuk berkat Tuhan hari itu.
Wednesday, May 09, 2007
Jembatan Maaf
Thursday, February 08, 2007
Belajar dari Keledai
tak temukan juga keledai itu. Tapi, ketika dia lelah mencari dan duduk di
bagian belakang rumah, samar telinganya mendengar ringkik memelas dari
keledainya. Suara itu lirih, sedih. Tapi di mana? Dan kenapa suara itu
bergema?
Beringsut, petani itu mencari sumber suara. Dan, jauh di belakang rumah,
di dalam sumur kering yang tak terpakai, dia temukan keledainya, bergerak
gelisah, memekik. Petani tua itu tak tahu harus berbuat apa. Menarik
keledai ke atas, tentu dia tidak kuat. Juga bagaimana menariknya? Lama
berpikir, akhirnya dia pun pasrah. "Keledai itu telah tua, dan sumur itu
terlalu berbahaya jika dibiarkan saja," batinnya.
Ia pun memutuskan untuk mengubur si keledai di sumur itu. Dengan mengajak
beberapa tetangga, dia mulai mengayuh sekop dan melemparkan timbunan tanah
ke dalam sumur. Ditutupinya telinga, agar tak mendengar pekikan keledai
yang seperti kehilangan harapan, dan dia meminta tetangga mempercepat
menimbun tanah ke sumur. "Kian cepat, makin lekas tangisan keledai itu
hilang," pikirnya.
Dan benarlah. Tak lama, tak terdengar lagi suara keledai dari dalam sumur.
Karena menyangka sudah tertimbun, dia dan tetangga melongok ke dalam
sumur.
Tapi, pemandangan di bawah begitu mengagetkan mereka. Takjub. Terpukau.
Ternyata, keledai itu masih segar-bugar, dan sibuk menggoyang-goyangkan
badannya. Setiap satu sekop tanah jatuh menimpa tubuhnya, keledai itu akan
menggoyangkan punggunya, menggugurkan timbunan tanah itu. Dan setelah
tanah turun, keledai akan memijaknya, menjadikan titik tumpu. Menyadari
hal itu, kian bersemangat petani dan para tetangga menimbunkan tanah.
Keledai terus saja mengibaskan tubuhnya, dan bergerak naik seiring tanah
yang kian banyak memenuhi sumur. Dan tak sampai setengah hari, sumur itu
pun mulai penuh tanah, dan keledai itu meringkik, meloncati bibir sumur,
dan berlari. Pergi.
Kehidupan, akan terus menuangkan tanah dan kotoran kepadamu. Hanya ada
satu cara untuk keluar dari kotoran --kesedihan, masalah, cobaan, dan
lainnya itu, yakni dengan menggerakkan tubuhmu, membuang segala kotoran
itu dari pikiran dan hatimu. Dengan cara itulah, kamu dapat menjadikan
semua masalah sebagai pijakan, melompati sumur kesengsaraan. Keledai itu
memberi contoh terbaik. Dan tak ada salahnya, kita belajar dari keledai.