Sunday, August 21, 2005
Pohon Beringin Yang Sombong
beringin adalah satu-satunya pohon yang hidup sendiri di situ. Yang lainnya
hanya alang-alang dan rerumputan. Karena itu, pohon beringin jadi sombong.
Ia sering sekali mengejek alang-alang dan rerumputan di sekitarnya.
Katanya,"Hei alang-alang! Aku bingung deh. Kenapa sampai sekarang kau tidak
pernah mengeluh! Lihatlah dirimu! Kecil dan kurus! Terkena angin sedikit
saja sudah bergoyang-goyang."
Alang-alang hanya diam. Ia tidak mau sedikit pun menanggapi perkataan pohon
beringin. Pohon beringin tak kehabisan kata-kata. Ia lalu berkata lagi,
"Lihatlah aku! Aku tidak bisa digoyangkan oleh angin. Badanku kokoh. Selain
itu, aku bisa melindungi kalian dari sinar matahari. Kalau tak ada aku,
pasti kalian sudah mati kepanasan."
Alang-alang masih diam saja. Sementara itu, pohon beringin masih belum puas
menyombongkan dirinya. Kata pohon beringin kepada alang-alang,"Aku tinggal
di tanah yang kokoh. Memang cocok untuk aku yang besar dan tinggi. Sedangkan
kamu? Tinggal di tanah yang becek. Yuck! Jorok dan kotor!!"
Alang-alang menghela napas. Akhirnya, alang-alang berkata juga. Katanya,
"Aku tahu aku kecil dan kurus. Aku juga jadi bengkok kalau ada angin. Tapi
aku tak pernah patah kan?"
Pohon beringin mencibir. Ia masih tetap merasa dirinya yang paling hebat di
padang rumput itu.
Beberapa hari kemudian, padang rumput itu diserang oleh angin topan yang
sangat kuat, cukup kuat untuk menyapu semua yang dilewatinya. Pohon beringin
tidak takut dengan angin topan ini. Ia malah berteriak menantang angin
itu,"Angin seperti ini tak akan bisa mengalahkanku. Aku ini pohon yang
kuat!! Hahaha!!! Terus saja bertiup, aku tak akan goyah."
Tak lama kemudian, angin bertambah kencang. Sepertinya angin juga tak mau
kalah dengan si pohon beringin. Lalu, pohon beringin yang sombong mulai
goyah. Ia pun mulai khawatir kalau alang-alang melihatnya goyah. Sementara
itu, angin terus bertambah kencang. Sampai akhirnya, pohon beringin yang
sombong berhasil dikalahkan. Pohon beringin tercabut akarnya dan tumbang!
Pohon beringin merintih kesakitan,"Aaaah!!!"
Kalau pohon beringin yang besar dan kokoh bisa tumbang, bagaimana dengan
nasib alang-alang ya? Ternyata alang-alang yang kecil dan kurus, yang
bengkok hanya dengan angin kecil, selamat! Alang-alang tidak terluka sedikit
pun.
Memang lebih baik rendah hati tapi selamat, daripada sombong tapi kemudian
malah kalah.
[Dongeng ini diambil dari 365 Cerita Sebelum Tidur, ditulis oleh Maureen
Spurgeon]
Tanda Kebijaksanaan
Kelinci itu banyak akalnya. Namun, kelinci ini ingin menjadi lebih pandai
lagi. Ia lalu meminta bantuan pada kepala suku Afrika yang bijaksana.
Kepala suku melihat bahwa kelinci memiliki keinginan yang gigih untuk
belajar. Maka, kepala suku mau mengajarkan sebagian ilmunya. Kepala suku itu
berkata kepada kelinci,"Aku mau memberikan sebagian ilmuku kepadamu. Namun
ada beberapa ujian yang harus kau jalani. Kalau berhasil, kau akan menjadi
muridku. Namun, kalau gagal, lebih baik kamu mencari ilmu di tempat lain
saja."
Kelinci mau menjalani ujian tersebut. Ia bahkan sudah tak sabar untuk segera
menjalaninya. Maka tanpa menunda-nunda lagi, Kepala suku segera memberikan
ujian yang pertama. "Bawakan aku ular piton hidup!"
Kelinci itu lalu pergi ke liang tempat ular piton. Walaupun ular piton itu
besar sekali, tetapi kelinci tidak takut. Ia memotong cabang panjang dari
pohon. Kelinci lalu berkata pada ular, "Kau selalu membual tentang badan
besarmu. Coba aku ukur dengan cabang ini. Pasti cabang ini lebih panjang
daripada kau."
Tantangan seperti itu membuat piton jadi marah. Piton segera keluar dari
liangnya. Ia ingin diukur dengan cabang pohon yang dibawa kelinci. Ia ingin
membuktikan bahwa badannya pasti lebih panjang. Piton segera meluruskan
badannya di sisi cabang. Dengan cepat, kelinci langsung mengikat ular itu ke
cabang pohon.
Kelinci segera membawa ular piton hidup yang terikat itu kepada Kepala suku.
Melihat apa yang dibawa kelinci, Kepala suku berkata, "Pekerjaan yang bagus!
Tapi, kau masih belum berhak mendapatkan ilmu dariku. Kau harus melakukan
satu ujian lagi. Sekarang, kau harus membawakan sekawanan lebah untukku."
Kelinci segera pamit dan pergi. Tak mudah membawa sekawanan lebah. Bisa-bisa
malah tersengat! Namun, kelinci itu kan panjang akalnya. Maka, ia segera
pergi mencari sebuah labu parang. Setelah dapat, ia buat lubang kecil di
labu itu, lalu ia kosongkan isinya. Setelah itu, kelinci memasukkan madu ke
dalamnya.
Kelinci lalu pergi mencari sarang lebah, sambil membawa labu parang berisi
madu. Ketika menemukan sarang lebah itu di ranting pohon besar, kelinci
segera menggantungkan labu di dekat sarang itu. Lebah-lebah terkecoh masuk
ke dalam labu milik kelinci. Ketika semua lebah sudah masuk ke dalam labu,
kelinci segera menutup lubang kecil yang dibuatnya.
Dengan mudah, kelinci memberikan labu berisi lebah kepada Kepala suku.
Kelinci berhasil melewati ujian kedua dengan baik. Kepala suku berkata
kepadanya,"Kau telah berhasil melewati semua ujian dariku. Kini kau berhak
mendapatkan sebagian ilmuku. Mari akan aku ajarkan bagaimana menjadi lebih
bijaksana dan pandai."
Setelah kelinci selesai mendapatkan ilmu yang diinginkannya, Kepala suku
memberinya sesuatu. Kepala suku menggosokkan sedikit getah ajaib diantara
kedua telinga kelinci itu. Akibatnya, kelinci jadi memiliki jambul putih.
Itu adalah tanda kebijaksanaan. Sampai kini, kelinci di Afrika masih
mempunyai jambul putih seperti itu.
[Dongeng ini diambil dari Seri Dongeng Sedunia, yang ditulis oleh Gianni
Padoan]
Tuesday, August 16, 2005
Sosis Nenek Corry
Ja haimemashou....
--------------------------
Bertahun-tahun, Pak Petter bekerja keras sebagai petani gandum. Namun,
hidupnya tetap miskin. Walaupun begitu Pak Petter sudah cukup senang dengan
hidupnya sekarang, karena ia bisa mencukupi segala kebutuhan pokok dia dan
istrinya. Sebaliknya, Bu Petter tidak pernah puas. Setiap hari, ia mengeluh
dan marah-marah pada suaminya. "Aku bosan jadi miskin! Kalau kita kaya, kita
bisa makan enak dan memakai pakaian yang indah." Demikian kata Bu Petter.
Esoknya, pagi-pagi Pak Petter sudah berjalan menuju sawah. Di pinggir
sungai, ia melihat benda kecil berkilauan. Ketika didekati, ternyata kereta
emas mungil yang ditarik oleh empat ekor kuda yang juga mungil. Kereta emas
berikut kuda hanya sebesar kepalan tangan Pak Petter. Di dalamnya ada
seorang nenek bergaun emas. Nenek mungil itu berkata pada Pak Petter, "Roda
keretaku terperosok lumpur. Tolong angkatkan.."
Segera saja Pak Petter mengangkat kereta dan penumpangnya itu. Nenek bergaun
emas lalu berkata lagi, "Terima kasih atas pertolonganmu. Namaku Nenek
Corry. Bila kau dan istrimu membutuhkan sesuatu, sebut saja namaku. Aku akan
memberimu kesempatan memanggil namaku tiga kali."
Setelah berkata demikian, Nenek Corry pun menghilang. Pak Petter yang masih
terkejut langsung berlari pulang. Di rumah, ia menceritakan semuanya pada Bu
Petter. Tapi Bu Petter menanggapinya dengan sinis.
"Aku tidak percaya pada ceritamu. Mana mungkin ada kereta emas sebesar
kepalan tangan? Lalu mengapa tak kau ambil saja kereta emas itu. Nanti bisa
kita jual."
Pak Petter tidak diam saja. Ia terus menyakinkan bahwa ia tidak berbohong.
Pak Petter lalu bercerita pada bantuan yang akan diberikan oleh Nenek Corry,
hanya dengan menyebut nama Nenek Corry.
Bu Petter jadi penasaran. Ia ingin membuktikan cerita suaminya. Bu Petter
ingin meminta sesuatu pada Nenek Corry."Nenek Corry, aku ingin sosis yang
gurih dan lezat."
Ajaib! Seketika itu juga di hadapan Bu Petter dan istrinya terhidang sosis
besar. Hmm.. aromanya sungguh gurih dan lezat. Bu Petter lalu meminta
suaminya mengambil sosis itu, tapi Pak Petter hanya diam saja. Ia masih
takjub dan bingung. Karena kesal, Bu Petter lalu berteriak, "Nenek Corry,
minta sosis lagi. Tapi jatuhkan tepat di hidung suamiku agar ia tahu sosismu
gurih aromanya."
Pluk! Jatuhlah sosis tepat di hidung Pak Petter. Sosis itu besar dan panjang
sekali. Saking panjangnya sosis itu sampai menyentuh api di perapian. Api di
ujung sosis pun berkobar-kobar.
Pak Petter ketakutan dan istrinya menjerit-jerit. "Aduh, tolong! Tolong!
Bagaimana ini? Aduh, Pak! Pak!"
Pak Petter berusaha menarik sosis itu dari hidungnya dengan sekuat tenaga.
Tapi sia-sia. Bu Petter lalu berteriak, "Nenek Corry, tolong lepaskan sosis
ini dari hidung suamiku!"
Braak!! Pak Petter terpental menimpa tumpukan kayu, tapi sosis itu berhasil
lepas dari hidungnya. Bu Petter lega sekali. Bu Petter lalu berkata, "Untung
sosis itu bisa lepas. Yah.. kita sudah kehilangan kesempatan meminta bantuan
pada Nenek Corry. Semuanya sudah kita gunakan. Tapi tidak apa-apa lah.. Yang
penting kita sehat dan bahagia."
Sejak itu, Bu Petter tidak pernah lagi mengeluh atau marah-marah. Sosis
Nenek Corry telah menyadarkan istri petani itu.
[Dongeng ini berasal dari Inggris, diceritakan kembali oleh T. Darsian,
diambil dari Majalah Kids Fantasi]
Saturday, August 13, 2005
Lahirnya Kupu-Kupu
---------------------
Konon, sebelum manusia menghuni Benua Australia, hewan-hewan dapat berbicara
dengan sesamanya, dan mereka tidak pernah mengalami kematian. Di musim
panas, berbagai jenis hewan sering berkumpul di bawah pohon gum, yaitu pohon
getah yang banyak terdapat di pedalaman Australia.
Tiba-tiba seekor burung kakaktua terjatuh dari pohon dan lehernya patah. Dia
tergeletak lemas di atas tanah. Semua hewan berdiri mengelilingi burung itu
dan berusaha membangunkannya, tetapi tidak berhasil. Mereka semua bingung
dan tidak memahami apa yang terjadi.
Maka diadakan rapat umum. Pertama, yang diminta bicara adalah burung hantu,
karena dia dianggap sebagai pengamat yang baik. Namun, dia tidak bisa
memberi penjelasan.
Lalu mereka meminta penjelasan dari gagak, yang dianggap punya pengetahuan
luas. Si gagak berpikir sejenak, lalu melempar sebatang tongkat ringan yang
runcing, namanya wit-wit.
Wit-wit itu tenggelam, tetap kemudian pelan-pelan muncul lagi ke permukaan.
Gagak lalu berkata, "Nah, itu yang terjadi. Kita semua akan memasuki dunia
lain, lalu kembali lagi. Persis seperti tongkat itu."
Hewan-hewan yang lain mengangguk-angguk. Tapi mereka butuh bukti. Maka
diminta beberapa sukarelawan yang mau mencoba mengalami hidup di dunia lain
dan kembali lagi. Banyak hewan yang takut, tapi beberapa jenis reptil mau
mencoba. Mereka adalah si goanna, ular, dan wombat.
Gagak lalu berkata, "Baiklah, kalian harus hidup dalam kegelapan, tidak
melihat, dan tidak makan selama musim dingin. Lalu kalian harus kembali
dalam bentuk yang berbeda."
Goanna, ular dan wombat hidup dalam kegelaman selama musim dingin.
Ketika musim semi tiba, semua berdebar-debar menunggu apa yang akan dilihat.
Pelan-pelan, satu per satu keluar dari liang gelap. Mula-mula si goanna.
Yah, bentuknya masih seperti semula. Lalu keluarlah si ular. Sama! Tak ada
yang berubah. Demikian juga dengan si wombat. Masih sama juga!
Maka, diadakan rapat sekali lagi. Gagak berkata, "Kita tak boleh patah
semangat. Mari kita beri kesempatan kelompok serangga untuk mencobanya."
Maka, si kutu air dibungkus dengan kulit pohon dan dilempar ke dalam air. Si
ulat dan si ngengat disisipkan di sela-sela kulit pohon. Semua hewan
kemudian menunggu datangnya musim semi dengan penuh harapan.
Ketika musim semi tiba, pagi-pagi sekali, tiba-tiba, dari berbagai arah
berterbangan hewan serangga bersayap. Ada kupu-kupu dengan sayapnya yang
berwarna indah, ada capung-capung berterbangan, dan ada kunang-kunang yang
terbang berkelip indah di pagi buta itu.
Gagak lalu bertanya kepada serangga itu, "Siapa kalian? Dari mana kalian
datang?"
"Aku si ulat," kata si kupu-kupu. Lalu si capung berkata, "Akulah si kutu
air." Kunang-kunang ikut menjawab, "Kalau aku si ngengat."
Semua memandang perubahan itu dengan takjub. Gagak berkata lagi, "Kita sudah
memecahkan misteri itu. Ternyata kawan-kawan kita dari jenis serangga bisa
mengalami kehidupan lain dan kembali lagi dalam bentuk lain."
Semua gembira. Sejak saat itu, setiap musim semi, peristiwa yang sama
terjadi lagi.
[Dongeng ini diambil dari Cerita Rakyat Dari Australia, ditulis oleh
Rochayah Machali]
Nyonya Salju
perempuannya. Suatu hari, saat sedang berjalan-jalan di taman, gadis kecil
itu melihat ke dalam sebuah sumur. Karena terlalu asik melihat, gadis itu
menjatuhkan sebuah koin.
Gadis itu mencoba mengambil koinnya. Tapi, ia justru ikut terjatuh ke dalam
sumur. Anehnya, gadis itu kini justru berada di sebuah taman yang besar. Ia
terkagum-kagum melihat sebuah rumah yang besar dan indah tak jauh dari
tempatnya berdiri. Gadis itu memutuskan untuk pergi ke rumah itu.
Di perjalanan, gadis itu melihat sebuah oven yang sedang memanggang roti.
Roti-roti di dalam oven berteriak, "Bawa kami keluar! Aduh, panas sekali di
dalam sini! Tolong, keluarkan kami!" Tanpa pikir panjang, gadis itu membuka
oven dan mengeluarkan roti-roti itu.
Selanjutnya, gadis itu melihat sebuah pohon apel yang sarat dengan buah.
Pohon apel itu berkata pada si gadis kecil, "Maukah kau menolongku
menggoyangkan ranting-rantingku? Buah-buah apel ini berat sekali. Aku tak
kuat lagi menahannya. Ayo, goyangkan rantingku agar apel-apel itu jatuh."
Maka, gadis itu segera menggoyang-goyangkan ranting pohon sampai buah-buah
apel berjatuhan.
Akhirnya, sampailah si gadis kecil di rumah besar. Dia pun mengetuk
pintunya. Dari dalam rumah keluar wanita yang ramah sekali, namanya Nyonya
Salju. Melihat si gadis kecil, Nyonya Salju berkata, "Halo gadis kecil.
Maukah kau menolongku? Aku membutuhkan bantuan mengerjakan pekerjaan rumah."
Gadis kecil itu mengangguk. Ia segera membantu Nyonya Salju membereskan
pakaian, menyapu dan membersihkan jendela. Saat semua pekerjaan selesai,
Nyonya Salju berkata pada gadis kecil, "Terima kasih, gadis kecil. Sekarang
cobalah kau goyangkan bel di perapian."
Tiba-tiba, seluruh taman itu ditutupi dengan salju. Indah sekali. "Aah.
Indahnya. Aku senang sekali." Ucap Nyonya Salju.
Nyonya Salju lalu menunjukkan arah pulang pada gadis kecil. Kemudian, ketika
gadis kecil melewati pintu keluar, ia melihat bahwa kantong roknya penuh
dengan potongan emas!
Saat tiba di rumah, gadis kecil segera menceritakan pengalamannya kepada
saudara tirinya. Segera saudara tiri gadis kecil memutuskan kalau dia juga
harus pergi dan mendapatkan potongan emas yang sama. Saudara tiri gadis
kecil pergi ke sumur, menjatuhkan diri dan sampai ke taman besar yang indah.
Saat melihat roti-roti dalam oven yang berteriak kepanasan, saudara tiri
tidak mau menolong. Demikian juga saat ia berjumpa dengan pohon apel yang
sarat dengan buah. Dia sama sekali tidak mau menggoyangkan ranting pohon
apel. Saudara tiri gadis kecil memang gadis yang malas.
Saat sampai di rumah Nyonya Salju, saudara tiri juga tidak mau membantu
mengerjakan pekerjaan rumah. Nyonya Salju pun berkata kepada saudara tiri
gadis kecil, "Kalau kau tidak mau membantuku, lebih baik kamu pulang saja."
Saudara gadis kecil pun kembali pulang, sambil menggerutu. Ketika melewati
pintu keluar, sebuah ember berisi oli tumpah diatas kepalanya. Badannya jadi
tertutup oli hitam! Hahaha. Itulah buah dari kemalasan..
[Dongeng ini diambil dari 365 Cerita Sebelum Tidur, yang ditulis oleh
Maureen Spurgeon]
Tuesday, August 09, 2005
Kancil dan Kerbau
udara segar. Tiba-tiba seekor burung Emprit menyapanya,"Halo, apa kabar,
Cil?"
"Kabar baik, Emprit! Bagaimana dengan kamu?"
"Begini,Cil,.." Belum sempat burung Emprit menjawab pertanyaan kancil,
tiba-tiba terdengar suara rintihan. Kancil mencari arah suara. "Seperti
suara mahluk yang menangis? Siapa ya, Emprit?"
Emprit menjawab,"Aku tadi baru mau cerita itu.. Pak Kerbau kasihan, deh.Ayo,
kita kesana!"
Lalu sampailah mereka ke tempat Pak Kerbau. Tampak Pak Kerbau sedang
merintih. Di punggungnya bertengger seekor buaya.
"Mengapa kau menangis Pak Kerbau? Dan mengapa kau menggendong Pak Buaya?"
tanya Kancil.
"Aku mencoba menolong Pak Buaya dari bahaya, tapi dia malah menerkam, ingin
memangsaku,"jelas Pak Kerbau. "Aku berusaha melepaskan pohon kelapa di
punggungnya. Setelah lepas, dia malah naik ke punggungku sambil berkata,'Kau
akan menjadi mangsaku Kerbau!' "
"Oh..begitu."
Kancil lalu bertanya pada Pak Buaya,"Apa betul cerita Pak Kerbau tadi , Pak
Buaya?"
"Oh, betul sekali, Kancil. Tak ada yang dikurangi satu kata pun.He.
.he....he."
"Lalu mengapa Bapak tidak membalas kebaikan Pak Kerbau?" tanya Kancil lagi.
"Bukan aku tak tahu membalas budi," jawab Buaya," tapi aku lapar sekali!
Seharian aku belum mendapat mangsa, eh malah tertimpa pohon kelapa! Aku
berteriak, merintih, karena kesakitan. Lalu datang Pak Kerbau menolongku!
Nah, ketika dia merunduk, melepaskan pohon kelapa itulah, aku naik ke
punggungnya.He..he..he.."
Kancil lalu diam sejenak dan berpikir. "Baiklah Pak Buaya, kau pantas
mendapatkan Pak Kerbau sebagai mangsa karena kebodohannya. Dan salut atas
kecerdikanmu! Tapi.. "
Kancil berhenti sejenak sambil tersenyum cerdik. Lalu ia melanjutkan,"
Tapi..bisa nggak diperagakan ulang bagaimana cara Pak Buaya melompat ke
punggung Pak Kerbau!"
"Oh, begitu,Cil! Ah, itu sih gampang! Mudah, Cil!" kata Pak Buaya.
Karena tersanjung oleh kata-kata Kancil, Pak Buaya dengan senang hati turun
untuk menunjukkan asal kejadian. "Ayo, Cil! Akan aku tunjukkan kecerdikanku
padamu,Cil! He..he..he.. Ayo, kita egera ke tempat kejadian." ajak Pak
Buaya.
Lalu sampailah mereka di tempat di kejadian.
"Begini.Mula-mula, aku berjemur, di dekat sungai ini. Lalu tiba-tiba batang
kelapa itu roboh dan menimpaku."
"Oke..oke.sebentar.Tolong, Pak Kerbau letakkan batang kelapa itu ke punggung
Pak Buaya," kata Kancil.
Buaya sangat terkejut dengan rencana Kancil. "Tenang saja, Pak Buaya! Ini
kan Cuma sebentar! Supaya kita tahu kejadian yang sebenarnya," jelas Kancil.
Kerbau segera mengambil batang pohon kelapa yang tadi menindih Buaya. Lalu
ia melemparkannya ke atas punggung Buaya. Bruk!
"Wadow..!" jerit Buaya.
"Eitt! Pelan-pelan, dong! Kasihan 'kan, Pak Buaya!" seru Kancil.
"Oh, begini ya.Apakah begini posisinya, Pak Kerbau?" kata Kancil.
"Iya, begitulah waktu aku datang menolongnya." kata Kerbau.
Sementara itu Buaya mengeluh,"Uuugh, berat sekali ,Cil.Sudah,dong. Katanya
Cuma sebentar."
Kancil tersenyum lalu berkata pada Kerbau,"Mari kita tinggalkan tempat ini.
Biarkan saja dia merasa kesakitan. Karena dia tidak tahu bagaimana membalas
budi!"
"Cil, jangan begitu...Kerbau, tolong aku ya..Hu..hu..hu. Jangan tinggalkan
aku sendirian. Aku janji tidak akan curang dan nakal lagi.. Huhuhu. Cil, aku
mohon jangan tinggalkan aku. Sakit, nih,ugh! Hu..hu..hu.. Aku kapok, Cil!"
Iba juga hati Kancil dan Pak Kerbau mendengar rintihan Pak Buaya. Akhirnya
ia berkata,"Baiklah, Pak Buaya, bila kau telah menyadari kesalahanmu. Kami
maafkan!"
Kerbau lalu mengangkat batang pohon kelapa itu dan menolong Buaya.
Dengan penuh penyesalan Buaya berkata,"Kerbau, aku minta maaf atas
kesalahanku. Dan juga kau,Cil, terima kasih atas kebaikanmu!"
Kerbau pun tak lupa mengucapkan terima kasih. "Terima kasih,Cil! Kau tealah
menolongku dari ancaman Buaya. Mulai dari sekarang aku akan selalu waspada."
Dongeng ini bisa didapatkan dalam kemasan Dancow kotak 400 gram atau 800
gram
Tupai Yang Nakal
tinggal di sebuah gubuk kecil di pinggir hutan.
"Nenek sekarang sudah tidak kuat lagi bekerja di ladang. Mulai sekarang
cucuku, kau harus menggali tanah, menyebar benih, merawatnya dan kalau sudah
tiba masa panen kau harus menuainya."
Tupai nakal ini mengangguk setuju, tetapi ia terlalu malas untuk mengerjakan
perintah neneknya. Setiap hari, neneknya menyangka ia sibuk bekerja di
ladang, padahal ia bermain-main bersama teman-temannya.
Segera waktu untuk menanam kacang datang. Sang tupai meminta kepada neneknya
untuk memberinya beberapa benih kacang untuk ditanam, dan setiap pagi ia
berangkat ke ladang membawa benih-benih itu. Tetapi benih-benih itu tidak
ditanamnya melainkan dimakan, dan tupai nakal ini tidak pernah menanam benih
sekalipun.
Suatu ketika neneknya berkata bahwa ia akan ikut bersama cucunya untuk
melihat bagaimana tanaman kacang mereka tumbuh. Tupai nakal ini bingung,
namun ia ingat bahwa tetangganya, yang sedang pergi ke pasar hari itu
memiliki kebun kacang yang subur.
"Ah, tentu saja, Nek," katanya. "Mari kita pergi."
Neneknya kagum akan kesuburan kebun kacang milik tetangganya itu. Ia pikir
kebun itu adalah hasil kerja cucunya. Dan tupai yang nakal ini menyombongkan
diri kepada neneknya bahwa semua ini adalah hasil kerjanya.
Akhirnya tibalah saat panen. Sekarang si tupai benar-benar merasakan
kesulitan. Ia tidak punya sebutir kacang pun untuk dituai. Ia berpikir keras
dan memutuskan untuk mencuri dari kebun tetangganya, saat mereka berhenti
bekerja pada suatu siang.
Tetapi petani tetangganya tahu akan apa yang akan terjadi.
Ia kemudian membuat jebakan untuk menjebak tupai itu. Ia mengambil labu yang
besar dan dilumurinya dengan lem, dan diletakkan di tengah-tengah ladang. Di
panas siang hari, labu itu akan sangat lengket.
Tak lama kemudian sang tupai datang sambil berlari-lari. Ia memikirkan
tentang makanan enak dari kebun petani.
Di tengah ladang ia melihat labu itu.
"Siapa itu," katanya pada dirinya sendiri. Dan ia berlari menuju ke labu itu
dengan marah.
"Siapa kamu dan apa yang kamu lakukan di sini?" bentaknya pada labu itu,
tetapi tidak ada jawaban.
"Siapa kamu?" jeritnya. "Katakan padaku sekarang juga, tolol! Atau aku pukul
dan aku tendang."
Tetapi tentu saja labu itu tidak berkata sepatah pun juga.
Tupai itu marah sekali dan menendang si labu. Alangkah tekejutnya ia sewaktu
merasa kakinya tidak dapat ia lepaskan.
"Lepaskan aku!" jeritnya dan ia memukul labu itu. Kali ini tangannya melekat
pada lem itu.
Sepanjang hari tupai itu melekat erat pada labu itu. Ia sangat kelaparan dan
kehausan. Akhirnya ketika senja tiba, si petani datang ke ladangnya.
"Ho, ho," tawanya, ketika ia melihat si tupai melekat erat pada labu.
"Maling itu akhirnya tertangkap! Kau tidak akan pernah bisa mencuri lagi,
tupai nakal!"
Kemudian ia mengambil tupai itu dan membawanya pulang.
Diceritakan kembali oleh Nurmini Desy
-------------------
Monday, October 06, 2003
YMC : Dongeng Pagi - Kisah Seekor Gajah Putih
-------------------
Seekor induk gajah, yang memiliki bulu kelabu kehitaman, hidup di sebuah
hutan. Ia memiliki seekor anak yang bulunya jauh berbeda dengannya. Bulu
anak gajah itu putih mulus. Orang menyebutnya sebagai gajah putih atau
bulai. Induk gajah merasa amat bangga, sebab gajah putih amat dipuja dan
dihormati di Thailand.
Anak gajah itu tumbuh menjadi gajah dewasa yang tampan. Dia sudah bisa
mencari makan sendiri. Induk gajah berpendapat, anaknya adalah gajah
istimewa. Sebab, bulunya yang putih mulus amat langka. Maka dia pikir, jika
gajah itu tetap berada di hutan, dia akan tetap menjadi seekor gajah biasa.
Gajah yang harus bekerja keras untuk memperoleh makanan.
"Tetapi jika ia hidup di kota, maka ia akan mendapat perlakuan istimewa.
Orang-orang memuja dan menghormatinya. Dia tidak harus bekerja membanting
tulang untuk memperoleh makan. Sebab orang-orang sudah memberinya makanan,"
batin induk gajah.
Maka suatu hari induk gajah memanggil anaknya dan berkata,"Nak, kau tak
pantas tinggal terus di sini. Tempatmu bukan di hutan. Tetapi di kota. Di
sana kau adalah gajah istimewa. Kau tidak perlu membanting tulang. Kau akan
mendapat makanan, bahkan dipuja-puja dan disembah-sembah. Sebab kau
dipercaya keturunan dewa gajah."
Gajah putih itu amat santun dan penurut. Maka dia menjawab, "Ya, Mak,
seandainya itu yang Emak anggap terbaik bagi saya."
Induk gajah memberi nasihat agar gajah putih bertabiat sopan, sabar, dan
menuruti kata-kata penduduk.
Gajah putih meninggalkan hutan. Tak lama kemudian ia tiba di sebuah desa.
Sosoknya menjadi bahan tontonan. Para penduduk desa keluar untuk menyaksikan
hal langka ini. Suasana menjadi amat ribut. "Lihat! Seekor gajah putih
memasuki desa kita!"
Sejak itulah gajah putih tinggal di desa. Pada malam hari ia akan pergi
tidur di lereng bukit.
Esoknya dia akan berjalan kaki keliling kampung. Mendatangi rumah demi
rumah. Pemilik rumah menyerahkan makanan ala kadarnya. Gajah putih merasa
amat bahagia.
Tetapi beberapa waktu kemudian para penduduk mulai mencoba memberi gajah
putih perintah. Awalnya, seorang penduduk memberi setandan pisang, tetapi
lalu menyerahkan padanya sebuah ember, dan memintanya mencarikan air.
Lama-lama kebiasaan ini ditiru penduduk lain. Sebagai upah makanan yang
diterima, gajah putih disuruh melakukan ini itu. Seperti memindahkan kayu
bakar, mengangkat beban, bahkan hal-hal yang sepele. Jadi apa yang dilakukan
gajah putih tidak ubahnya seperti pekerjaan kuli upahan.
Kemudian tugas yang diberikan kepada gajah putih amat berat. Kini dengan
ancaman tidak akan diberi makanan kalau tidak patuh. Hati gajah putih
mendidih diperlakukan demikian. Tetapi ia tetap ingat kata-kata induknya,
agar sabar dan mematuhi kata-kata penduduk. Tetapi lama-lama kesabarannya
habis juga. Suatu hari ia lari kembali ke hutan.
Kepada induknya gajah putih mengisahkan pengalamannya. Sang induk mengangguk
tanda mengerti. Lalu setelah merenung sejenak dia berkata, "Aku yang salah,
Nak. Kau seekor gajah putih. Jadi seharusnya kau berlaku layaknya gajah
putih lain. Kau tidak pantas melakukan pekerjaan seperti menimba air atau
menyeret kayu gelondongan. Nah, kembalilah ke desa, tapi jangan mau
diperintah lagi."
Gajah putih kembali ke desa. Sampai di sana kedatangannya disambut para
penduduk. Mereka memberinya makan. Tetapi sesudah itu mereka memberinya
perintah ini itu.
Gajah putih teringat pesan induknya: ". Kau tak pantas melakukan pekerjaan
seperti menimba air atau menyeret kayu gelondongan." Maka ketika seorang
menyodorkan sebuah ember untuk diisi air, gajah putih mengibaskannya,
sehingga ember terlempar dari tangan. Begitu juga jika ia diminta
memindahkan kayu bakar. Didorongnya orang yang menyuruhnya sehingga jatuh
terjengkang. Maka para penduduk takut memerintah gajah putih lagi.
Orang-orang desa kemudian mempunyai anggapan lain. Mereka sependapat, "Gajah
putih ini keturunan dewa gajah. Bukan seperti gajah putih yang datang
duluan. Barangkali, yang dulu gajah putih tiruan. Gajah putih ini tidak
pantas hidup di desa. Seharusnya dia tinggal di istana. Kita harus
menyerahkannya kepada Raja."
Dengan penuh kehormatan para penduduk desa menggiring gajah putih ke istana.
Kini gajah putih menjadi piaraan Kerajaan. Hidupnya amat terjamin serta
dipuja dan dihormati semua orang.
Diceritakan oleh Kadir Wong
Sunday, August 07, 2005
Gagak dan Rubah
hari ia memasang perangkap di berbagai tempat. Apa yang tertangkap dalam
perangkap itulah yang menjadi makanannya. Kadang-kadang tikus, kadang-kadang
ayam, atau kadal.
Selama ini rubah tidak pernah kesulitan mendapatkan makanan, karena
perangkapnya selalu berhasil. Namun, beberapa hari terakhir ini, rubah
selalu menemukan perangkapnya kosong. Tak ada tikus, tak ada ayam ataupun
kadal. Rubah berpikir, "Apa yang terjadi ya? Umpan yang kupasang selalu
habis, tapi aku tak mendapatkan apa-apa. Pasti ada yang mencuri makananku."
Rubah lalu mulai menyelidikinya. Ia memasang perangkap seperti biasa. Namun
kali ini, setelah selesai memasang perangkap, ia tidak pergi begitu saja. Ia
bersembunyi di balik semak-semak dan memperhatikan perangkapnya.
Satu jam, dua jam berlalu. Hop! Seekor tikus terperangkap! Walaupun begitu,
rubah tak langsung mengambil tikus itu. Ia biarkan tikus itu di dalam
perangkap. Satu jam, dua jam berlalu. Lalu, dari atas, datanglah seekor
burung gagak.
Gagak mendekati tikus yang terperangkap. Hmm, itu akan jadi santapan yang
lezat baginya. Maka dengan gesit, gagak menyusup ke dalam perangkap dan
mengigit tikus itu. Wah, rubah yang mengawasi dari kejauhan menjadi kesal.
"Ternyata selama ini, gagak itu yang telah mencuri makananku!"
Walaupun begitu, rubah tak langsung menyerang si gagak. Karena tak sadar
diintai, gagak terus saja mengigit tikus yang didapatnya. Lalu gagak terbang
dan hinggap di sebuah dahan pohon sambil membawa tikus di paruhnya.
Melihat gagak beristirahat di dahan, rubah menyapanya,"Halo gagak! Sedang
apa kau diatas sana?"
Gagak tak menjawab, sebab kalau ia menjawab, tikus santapannya, bisa
terjatuh. Lalu, rubah berkata lagi,"Gagak, aku banyak mendengar cerita
tentang dirimu. Aku dengar kamu adalah pemburu yang hebat. Pasti benar.
Lihat saja, kau berhasil menangkap seekor tikus."
Gagak agak tinggi kepala. Senang juga ia dipuji seperti itu. Lalu, rubah
melanjutkan,"Kata binatang-binatang lain di hutan, kamu juga bisa terbang
melesat secepat angin. Wah, wah, kamu memang binatang hebat. Tapi ada sih
satu hal yang membuatmu tidak sempurna. Kata mereka, suaramu buruk. Parau
dan memekakkan telinga."
Mendengar hal itu, telinga gagak jadi panas. Ia yakin, ia memiliki suara
yang indah. Maka, gagak segera membuka paruhnya dan mulai bersuara.
Tentu saja, ketika gagak bersuara, tikus yang ada di paruhnya jatuh ke
tanah. Lalu, rubah langsung mengambil tikus itu, dan berkata,"Aha! Ternyata
kau tak secerdas yang kuduga. Kau hanya pandai mencuri. Kamu telah mengambil
makananku. Sekarang, aku harap kau malu akan perbuatanmu dan tidak
mengulanginya lagi. Kalau kau mau, aku bisa mengajarkanmu membuat
perangkap."
Gagak jadi malu. Ia sadar selama ini ia telah menyusahkan si rubah. Gagak
menyesal. Mulai saat itu, gagak belajar membuat perangkap dan menangkap
makanannya sendiri dan tak mencuri lagi.
[Dongeng ini diambil dari Seri Dongeng Sedunia, yang ditulis oleh Gianni
Padoan]
Petualangan Semut Kecil
punya apapun. Suatu hari Ratu Semut mengutus pengawal untuk mencari makan.
"Pengawal carilah makanan," kata Ratu Semut. Akhirnya pengawal pergi
berpetualang mencari makanan.
Di tengah perjalanan ia bertemu ulat jahat. Mereka lalu bertarung. Semut
kecil itu mendapat pukulan yang sangat kuat. "Aduh.!" serunya.
Semut itu hampir mati. Semut itu hampir digigit oleh oleh ulat itu, tapi
dengan gesit semut itu menusukkan tombaknya.
"Aaaaaa...!" Jerit si ulat jahat.
Ulat jahat itupun lalu mati.
Untung semua semut pengawal di kerajaan gurun pasir memiliki senjata tombak.
Senjata itu memang harus selalu dibawa kemana pun mereka pergi.
Semut pengawal itu lalu melanjutkan perjalanannya. Setelah menempuh
perjalanan panjang akhirnya sampailah di tempat makanan. Tapi disitu ada
laba-laba penjaga.
"Aduh.. Bagaimana ini?" bisik semut dalam hati. Lalu semut itu diam-diam
mengambil makanan. Saat itu juga laba-laba penjaga terbangun. Ia terkejut
melihat seekor semut yang mengambil makanan. Lalu, semut itu dia kejar.
"Tolong! Tolong! " Semut itu menjerit. Ia terus berlari sampai akhirnya ia
sampai di kerajaannya. Lalu ditutuplah rapat-rapat pintu gerbang
kerajaannya. Saat itu datanglah badai. Laba-laba itu pun mati karena tidak
kuat menghadapi badai. Dan malam itu kerajaan semut itu berpesta.
Dongeng ini ditulis oleh Abid, kelas 3 SD Madania
Burung Dara dan Semut
Burung dara senang melihat air yang mengalir. Selain itu, ia juga suka
membersihkan dirinya disana. Selain burung dara, banyak hewan lain yang juga
senang bermain di tepi sungai. Salah satunya adalah semut.
Pada suatu hari, semut bermain seperti biasa di tepi sungai. Ternyata semut
tidak berhati-hati, akibatnya ia terjatuh ke dalam sungai. Semut mencoba
berenang menepi sekuat tenaga. Tetapi seperti itu tak mungkin. Arus yang
deras itu seperti lautan luas bagi si semut kecil. Semut terus terbawa arus.
Semut yang takut tenggelam berteriak minta tolong,"Tolong!! Tolong!!"
Sementara itu, tak jauh dari situ, burung dara sedang asik minum di tepi
sungai. Samar-samar burung dara mendengar teriakan minta tolong. Setelah
dilihat, ternyata si semut sedang gelagapan terbawa arus. "Burung dara,
tolong aku! Aku.. aku. tenggelam.." Teriak si semut.
Burung dara ingin sekali membantu semut itu. Tapi bagaimana caranya ya?
Untung burung dara cerdas. Dengan segera, burung dara mengambil sebuah
ranting kecil. Ia ulurkan ranting itu dengan paruh kecilnya ke arah semut.
Burung dara lalu berteriak kepada semut, "Semut! Berenanglah mendekati
ranting ini! Ayo! Kamu pasti bisa!"
Lalu semut segera berenang sekuat tenaga menghampiri semut itu. Ah!! Susah!
Tapi akhirnya semut berhasil mencapai ranting itu. Segera semut berjalan
meniti ranting dan tiba di tanah yang kering dengan selamat.
"Phew!!! Untung aku selamat! Terima kasih banyak, burung dara!"
Burung dara senang ia telah menyelamatkan si semut. Ia juga senang karena
sekarang ia memiliki teman baru. Lalu burung dara berjalan bersama si semut
mencari makanan. Tapi, di perjalanan, burung dara melihat ada seorang
laki-laki membawa senapan panjang. Burung dara agak khawatir. Ia lalu
berkata pada si semut, "Semut, seperti aku melihat seorang pemburu. Aku
takut aku akan ditembak olehnya. Aku terbang dulu ya? Aku harus
menyelamatkan diri.."
Burung dara segera terbang melesat. Tapi, pemburu itu ternyata melihatnya.
Pemburu itu segera mengarahkan senapannya ke arah burung dara. Wah, gawat
ini. Burung dara bisa tertembak. Lalu tiba-tiba..
Senapan itu meletus!! Apa yang terjadi? Apakah burung dara tertembak? "Aku
baik-baik saja! Aku tidak tertembak!" teriak burung dara. Tapi burung dara
bingung? Bagaimana ia bisa selamat? Padahal tadi, pemburu sudah mengarahkan
senapannya ke arahnya.
Ternyata si semut tahu jawabannya. "Aku tahu kau tadi dalam bahaya. Maka aku
dekati si pemburu itu. Aku gigit kakinya. Jadi, tembakannya meleset.
Setidaknya hanya itu yang bisa kulakukan untuk membalas kebaikanmu
menyelamatkan aku di sungai tadi."
Burung dara senang sekali. Ia tak jadi santapan si pemburu. Burung dara
sangat berterima kasih pada si semut kecil, teman barunya. Burung dara masih
takjub, ternyata makhluk kecil, sekecil semut, sangat bermanfaat bagi
makhluk yang lebih besar, seperti dirinya.
[Dongeng ini diambil dari 365 Cerita Sebelum Tidur, yang ditulis oleh
Maureen Spurgeon]
Friday, August 05, 2005
Pangeran Amat Mude
Alas. Negeri itu diperintah oleh seorang raja yang adil dan bijaksana.
Permaisurinya baru saja melahirkan seorang anak laki-laki. Badannya sehat
dan wajahnya tampan. Raja dan permaisuri yang bahagia memberinya nama Amat
Mude.
Beberapa bulan kemudian, raja mulai sakit-sakitan. Semakin hari sakitnya
semakin parah. Akhirnya, raja yang adil dan bijaksana pun wafat. Seluruh
kerajaan berkabung. Karena putra mahkota Amat Mude masih terlalu kecil, maka
diangkatlah paman Amat Mude menjadi Raja. Paman Amat Mude diberi gelar Raja
Muda.
Sejak saat itu, Negeri Alas dipimpin oleh Raja Muda. Sejalan dengan waktu,
sikap Raja Muda berubah. Ia takut kehilangan kekuasaannya jika nanti
pangeran Amat Mude besar. Maka, ia memerintahkan pengawalnya untuk membuang
Permaisuri dan pangeran Amat Mude. "Buang permaisuri dan anaknya ke hutan!
Mereka pasti tidak dapat bertahan hidup di hutan yang penuh dengan binatang
buas."
Namun, ternyata dugaannya keliru. Hari berganti minggu, minggu berganti
bulan, dan bulan berganti tahun. Permaisuri dan pangeran Amat Mude dapat
bertahan hidup di hutan. Sehari-hari mereka makan dari buah-buahan dan ikan
yang bisa mereka temukan.
Kini pangeran Amat Mude sudah berusia delapan tahun. Suatu hari, pangeran
Amat Mude ingin membantu ibunya mencari ikan. Tak lama, ia berhasil
menangkap seekor ikan. Permaisuri senang sekali! Segera ia ambil ikan itu
untuk diolah menjadi makan siang mereka. Ketika memotong ikan itu,
permaisuri kebingungan, karena mata pisaunya tidak bisa membelah perut ikan.
Ada benda keras di dalam perut ikan. Setelah dibuka, ternyata isinya emas!
Emas murni!
Emas itu membuat hidup Permaisuri dan pangeran Amat Mude kaya raya dan hidup
bahagia. Kabar ini didengar oleh Raja Muda. Maka, Raja Muda meminta Amat
Mude menghadapnya. "Aku dengar hidupmu sekarang enak. Tapi, jangan senang
dulu! Aku perintahkan kamu untuk membawa sebuah kelapa gading. Kelapa itu
adalah obat untuk istriku yang sedang sakit. " Ucapnya.
Amat Mude segera pergi mencari kelapa gading itu. Setelah berjalan cukup
jauh, ia tiba di sebuah pantai.
Disinilah Amat Mude menemukan sebuah kelapa gading yang dibutuhkan Raja
Muda. Segera ia bawa kelapa itu untuk dipersembahkan kepada Raja Muda. Raja
Muda tertegun. Ia tidak menyangka Amat Mude mau dengan tulus menolongnya
mencari obat untuk istrinya. Hati Raja Muda tersentuh dengan kebaikan Amat
Mude.
Raja Muda menyadari tingkah lakunya selama ini. Ia lalu berkata kepada
Permaisuri dan pangeran Amat Mude, "Aku minta maaf atas sikap dan
perbuatanku selama ini. Ternyata walaupun aku sudah berbuat jahat, kalian
berdua masih mau menolongku dengan tulus. Hati kalian memang baik sekali. "
Raja Muda juga menyerahkan kekuasaannya kepada yang berhak, yaitu pangeran
Amat Mude. Sejak saat itu, Negeri Alas diperintah oleh Raja Amat Mude dengan
didampingi oleh pamannya yang telah insaf.
Ternyata, kecurangan dan keburukan hati bisa dikalahkan oleh kebaikan hati
yang tulus.
[Dongeng ini diambil dari Kumpulan Dongeng Anak-Anak Indonesia, yang ditulis
oleh MB Rahimsyah]
Thursday, August 04, 2005
Naga dan Gypsi
hanya didiami oleh seorang petani. Gypsi itu lalu bertanya kepada Pak Petani
itu,"Mengapa kota ini sepi sekali? Apa yang terjadi?"
Petani itu lalu bercerita bahwa kota itu telah dikutuk. Orang yang sudah
menginjakkan kakinya di kota itu tidak akan bisa keluar. Seekor naga datang
setiap hari untuk menyantap penduduk kota itu. Hingga lama-kelamaan,
habislah penduduk desa itu. Naga akan datang besok untuk makan si petani,
dan lusa ."Lusa naga itu akan memakan diriku!!!" Begitu seru gypsi. Tapi
dia tidak takut. Malamnya, ia tetap beristirahat dan tidur dengan pulas di
rumah si petani. Keesokan paginya, terdengar suara gemuruh.
Naga yang menyeramkan itu datang! Ketika naga melangkah, bumi bergoncang dan
bunyinya berdentum keras. Petani sudah sangat ketakutan. Ia bersembunyi di
gudang miliknya. Sementara itu, si gypsi tenang-tenang saja. Ia justru ingin
menghadapi naga itu, walaupun naga itu besar sekali. Ketika naga sudah
dekat, gypsi menantang naga itu. Teriaknya,"Hei, naga! Makan saja aku kalau
kau mau. Tapi kau tidak akan bisa mengunyahku. Kau harus menelanku
bulat-bulat. Dan kalau aku sudah ada di perutmu, aku akan mengoyakmu dari
dalam, dan kau akan mati."
Naga itu mendengus. Naga tidak takut ditantang seperti itu. Ia malah semakin
menunjukkan kekuatannya. Naga lalu mengambil batu dan meremasnya sampai
menjadi debu.
Gypsi tertawa melihat perbuatan naga. Kata gypsi,"Hahaha. Hanya itu yang
bisa kau lakukan? Itu sih belum seberapa. Aku lebih kuat darimu. Aku bisa
memeras air dari batu!"
Lalu gypsi yang cerdik itu tidak mengambil batu, melainkan keju yang ia
sembunyikan di tanah. Gypsi lalu memerasnya sampai mentega susunya
keluar."Lihat kan? Ayo, sekarang kalau kau berani, makan saja aku!"
Melihat hal itu, naga sangat tercengang. Ia tidak menyangka si gypsi
memiliki kekuatan yang luar biasa seperti itu. Naga jadi takut hingga lari
terbirit-birit.
Gypsi dan petani itu lega karena tidak jadi santapan si naga. Dan sejak saat
itu, naga yang pengecut tidak pernah kembali lagi. Kutukan terhadap desa itu
pun sirna.
[Dongeng ini diambil dari Seri Dongeng Sedunia, yang ditulis oleh Gianni
Padoan]